Oleh: Wardjito Soeharso
Yang luas itu pikir. Dia mampu mengembara ke mana saja. Tanpa batas dimensi ruang dan waktu. Dia selalu memberi alasan, memberi nilai, benar atau salah, untuk mengukur kesesuaian dengan standard yang berlaku umum.
Yang sempit itu rasa. Dia hanya bergerak di antara dua kutub preferensi: enak dan tidak enak, suka dan tidak suka. Rasa sangat egois, subyektif. Sering tanpa alasan untuk menunjukkan eksistensinya. Bahkan tidak segan memaksa, memperkosa, untuk memenuhi tuntutannya.
Pikir yang luas mengajak bijak. Rasa yang sempit mengajak sesat. Maka, yang bijak mesti membimbing, meluruskan yang sesat. Pikir harus mengendalikan rasa. Pikir harus mengolah rasa. Penyatuan pikir dan rasa, tidak boleh lebur menyatu seperti merah bercampur hijau menjelma hitam. Tapi, mesti berlapis, pikir di atas dan rasa di bawah. Jangan terbalik. Rasa di atas pikir di bawah. Karena bila rasa di atas menjajah pikir di bawah, yang muncul pasti bencana!
Ya. Pikir itu banyak membimbing ke puncak benar. Rasa itu banyak mendorong ke jurang salah. Maka, berpikirlah sebelum merasa. Jangan merasa sebelum berpikir.
Orang yang menganggap ketelanjangan adalah seni yang harus diapresiasi sama saja menganggap kebodohan adalah ilmu yang minta dihormati.
09.03.2024 – 07:15
Tetap Terhubung Dengan Kami:
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.