DelikNTT.Com – Kuntowijoyo menulis, “Kenyataan sejarah yang sering dilupakan oleh para pengikut Muhammadiyah (dan “musuh-musuhnya”) ialah bahwa K.H. Ahmad Dahlan sangat toleran dengan praktik keagamaan zamannya, sehingga ia dapat diterima semua golongan.
Sebagai seorang santri, ia menjadi pengurus BO, mengajar agama untuk murid-murid Kweekschool, dan dengan mudah bergaul dengan orang-orang BO yang pasti dari golongan priyayi yang cenderung abangan.
Penjelasan tentang sangat tolerannya Ahmad Dahlan diperkuat oleh Din Syamsuddin, ia menjelaskan bahwa Dahlan mampu mewarnai keraton dan masyarakat Jawa tanpa harus berpisah apalagi memusuhinya.
Kuntowijoyo selanjutnya menulis: “Pada waktu itu, Muhammadiyah menghadapi tiga front, yaitu modernisme, tradisionalisme, dan Jawaisme.
Pertama, terhadap modernisme K.H. Ahmad Dahlan menggunakan pendekatan dengan membangun sekolah-sekolah (termasik HIS met de Qur’an dan Scakelshool di Wuluhan itu), kepanduan, dan voluntary association lainnya.
Kedua, terhadap tradisionalisme K.H. Ahmad Dahlan menggunakan tabligh (penyampaian) dengan cara mengunjungi murid-muridnya. Pada zaman itu, hal samacam ini adalah sesuatu yang aneh atau dalam istilah Mulkhan adalah aib sosial-budaya. Bagaimana tidak, seorang guru yang mengunjungi murid-muridnya ketimbang murid yang datang mencari gurunya.
Tetap Terhubung Dengan Kami:
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.