Topik : 

Trust: Kebijakan Sosial dan Kemakmuran

Reporter : JT Editor: Redaksi
Trust
Gambar: Istimewah

Oleh: Jailani Tong, M.Pd

DelikNTT.Com – Meminjam pembahasan James S. Colemon, dalam “Social Capital in the Creation of Human Capital,”American Journal of Sociology (1988), Fukuyama mendefenisikan modal sosial (social capital) sebagai serangkaian nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Namun, bagi Fukuyama, meminjam sebuah istilah dengan menyepakati defenisinya tidak serta merta harus menelan bulat-bulat segala dimensi pemahaman dari defenisi tersebut. Hal ini menunjukan bahwa nilai dari sebuah kepercayaan itu sangat sulit atau dengan kata lain harus lebih hati-hati dalam hal memberikan kepercayaan kepada seseorang atau kelompok.

Hal ini terbukti, misalnya dalam The Great Disruption (1999), secara kritis Fukuyama mempertanyakan: “Tetapi, apakah nilai-nilai dan norma-norma bersama itu otomatis menjadi modal sosial”? menurutnya, belum tentu. Sebagaimana dalam sebuah kisah yang ia terima dari seorang sosiolog Diego Gambetta dalam The Sicilian Mafia: The Bussiness of Private Protection:

Dalam kisah ini, digambarkan secara jelas, bagaimana seorang anak nyaris kehilangan nyawa karena harus percaya dengan perkataan orang tuanya.

“Seorang mantan boss (mafia) Italia mengingat kenangan ketika ia masih kanak-kanak. Ayahnya, yang juga boss mafia, saat itu menyuruhnya memanjat sebuah tembok yang cukup tinggi.

Tanpa berpikir panjang, si anak segera memanjatnya. Sesampainya di atas, si ayah segera menyuruhnya untuk melompat turun. Tentu saja dia bingung. Tetapi si ayah tetap bersikeras menyuruhnya melompat, sambil berjanji akan menangkap tubuhnya dari bawah. akhirnya, ia teryakinkan oleh janji ayahnya. Dan beberapa saat kemudian, dengan posisi terjun payung, ia melompat ke arah ayahnya yang sudah siap pada posisi menangkap. Tetapi seketika si anak melompat, anehnya, si ayah secara kilat menghindar.

Tentu saja tidak ada kesempatan bagi dirinya untuk memperbaiki posisi. Hidungnya mencium tanah, patah dan berdarah. Tangannya terkilir dan memar. Napasnya berhenti sejenak. Untung tulang rusuknya tidak patah. Setelah sadar, dengan napas tersenggal dia segera bangun dan memprotes: “Bapak sengaja mau mencelakakan saya ya?” dengan wajah tanpa dosa sang ayah menjawab “kamu harus belajar untuk tidak percaya, sekalipun pada ayahmu sendiri!”.

  • Bagikan