Oleh: Jailani Tong (Alumni Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Periode 2018-2020 )
Editor: Muhammad Subadri Jarawadu
OPINI, DELIKNTT.COM – Kota Kupang akan mencatatkan sejarah baru pada sejak 15-18 November mendatang. Karang-karang yang menyangga Kota Kupang akan menjadi saksi. Saksi bagi perjalanan Muhammadiyah melewati dekade pertama setelah 1 abad.
Kupang tak segarang predikatnya yang terkenal sebagai kota karang. Kupang menawarkan contoh praktek kohesi sosial yang kuat. Kota ini telah menjelma menjadi rumah besar bagi berbagai suku, agama, dan budaya. Disitulah keistimewaan Kupang. Perbedaan itu justru memperkaya kehidupan sosial di Kota Kupang. Toleransi dan saling menghormati menjadi nilai luhur yang mengakar kuat di tengah kehidupan bermasyarakat. Ini menjadikan Kota Kupang sebagai contoh keberagaman yang berjalan secara alami bukan hasil settingan sosial.
Dalam lanskap sosialnya, Kota Kupang juga terkenal dengan tradisi gotong royong dan semangat saling membantu. Di setiap sudut kota, kita dapat merasakan kedekatan dan rasa kekeluargaan yang begitu kuat di antara warga. Kegiatan sosial dan keagamaan sering menjadi momen kebersamaan. Satu sama lain saling berbagi. Juga satu sama lain saling menguatkan.
Rasa saling peduli yang kuat antar warga menunjukkan bahwa kasih sayang di Kota Kupang bukan sekadar kata-kata. Ia inheren dengan setiap warganya. Telah menjadi tindakan nyata, sesuai dengan julukannya, “Kota Kasih”. Kasih juga dapat dimaknai sebagai cinta dan sayang.
Istilah “Kota Kasih” juga sekaligus mematahkan anggapan kebanyakan orang di luar sana, bahwa masyarakat Kota Kupang memiliki watak yang keras layaknya istilah kota tersebut yaitu “Kota Karang”.
Kota Kupang tidak hanya dikenal karena karangnya yang kokoh, tetapi juga karena kasih sayang yang mengalir di dalamnya, menjadikannya kota yang akan selalu dirindukan. Bukan rindu dengan manisnya gula Rote, tapi karena rindu dengan kokohnya “persaudaraan” seperti kokohnya karang di sepanjang Kota Kupang.
Berdiri di tengah-tengah kota, dua rumah ibadah yang saling berdekatan. Dipisahkan hanya dengan tembok, yaitu Masjid Al-Mutaqqin dan Gereja HKBP .
Keduanya, kerap kali berbagi lahan parkir. Seperti yang terjadi pada saat bulan Ramadhan. Begitu pun sebaliknya, ketika ada acara kebaktian. Selain itu, keduanya juga menjadi simbol toleransi beragama yang nyata, bukan sekadar Lip-sync, seperti yang dipraktikkan oleh kebanyakan para pemimpin di negeri ini.
Tetap Terhubung Dengan Kami:
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.