Oleh: Muhammad Subadri Jarawadu
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta)
OPINI, DELIKNTT.COM – Lonceng pemilihan kepala daerah (Pilkada) sudah berdenting. Nyaring terdengar di seantero negeri. Juga di Nusa Tenggara Timur (NTT). Gegap gempita masyarakat di 22 kabupaten/kota sayup-sayup terdengar. Exposurenya minim. Konsentrasi masyarakat terpecah karena drama-drama politik nasional yang lebih dominan tersorot pemberitaan.
Drama politik di level nasional mungkin berpengaruh pada perubahan dinamika politik di daerah. Terutama sosok yang diusung masing-masing poros politik. Ada yang sudah ditetapkan lalu tiba-tiba mundur saat mendekati hari pendaftaran. Ada juga yang sudah diusung hampir semua Parpol tiba-tiba koalisinya buyar pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Tetapi pembicaraannya lebih dominan soal penyebab. Sementara ketegangan yang muncul di daerah sebagai akibat dari drama politik nasional, kalah menarik.
Kita memang tidak boleh larut dalam perbincangan soal keributan yang ada di Jakarta. Apalagi melupakan Pilkada serentak di 22 Kabupaten/Kota di NTT. Jangan sampai semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata justru tidak terlihat. Ini adalah pesan paling penting.
Pilkada di 22 Kabupaten/kota adalah jembatan kita melakukan perubahan. Juga fasilitas demokrasi untuk mereview kembali perjalanan daerah, minimal lima tahun belakangan. Masyarakat sebagai otoritas penuh pemilik suara berhak menentukan pilihannya secara merdeka.
Banyak hal yang bisa kita jadikan standar untuk memilih kepala daerah. Misalnya soal isu perekaman dan pencetakan KTP elektronik. Sejak kecil sampai saat ini, penulis sering mendengar keluhan tentang betapa susah dan mahalnya biaya untuk rekam dan cetak KTP Elektronik. Sebab, perekaman dan pencetakan KTP hanya dilakukan di kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) yang ada di kota kabupaten.
Untuk bisa merekam dan atau mencetak KTP Elektronik, effortnya juga luar biasa. Terutama bagi masyarakat yang tinggal di desa-desa jauh. Harus nabung berhari-hari, berminggu-minggu atau bahkan lebih. Untuk sampai ke kantor dinas Dukcapil, harus bangun jam 5 pagi pula. Bahkan jam 4 pagi . Lalu bergegas ke jalanan desa menunggu bis lewat. Tidak mandi. Tidak juga sarapan.
Untuk mengurusi KTP, uang di kantong harus lebih dari cukup. Baik untuk ongkos pergi dan pulang, untuk makan dan minum di kota, plus untuk pelicin kepada oknum di kantor dinas agar KTP cepat selesai. Betapa besar biayanya buat masyarakat desa. Kalau diasumsikan ongkos bis untuk dua kali perjalanan pergi dan pulang menghabiskan Rp40.000 sampai Rp50.000, makan dan minum di kota untuk satu kali makan Rp30.000, bayar ojek Rp10 ribu, uang pelicin Rp50.000, maka untuk mendapatkan KTP elektronik, satu orang harus menyiapkan uang sebesar Rp150.000. Nilai yang besar untuk masyarakat yang datang dari desa-desa yang jauh. Padahal uang itu harusnya bisa dialihkan untuk pemenuhan kebutuhan beras dan nutrisi keluarga.
Pun begitu, harus pula ngantri. Jangan harap ada kepastian waktu penyelesaian. Antrian panjang itu seolah menjadi kelaziman yang patut. Sekalipun kantor Dukcapil itu letaknya tak jauh dari kantor bupati/walikota. Kecuali lewat jalur Ordal. Yang tidak punya Ordal, tunggu saja sampai petugas datang dan berkata, silahkan datang lagi minggu depan. Sungguh birokrasi yang ironi. Inilah wajah birokrasi bermental maunya dilayani. Bukan pelayan masyarakat.
Tetap Terhubung Dengan Kami:
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.