iklan

Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

iklan
Topik : 

Pandangan Muhammadiyah Tentang Pakaian Syar’i

Reporter : Evi Sofia Inayati Editor: Redaksi
pakaian syari
Sumber gambar: muhammadiyah.or.id

Oleh: Evi Sofia Inayati

(Majelis Tabligh dan KetarjihanPimpinan PusatAisyiyah)

DelikNTT.Com – Dewasa ini, kita sering mendapati berbagai istilah pakaian muslimah di masyarakat, mulai dari jilbab syar’i, hijab halal, hingga pakaian hijrah/niqab/ cadar. Kesemuanya mengarah pada model, ukuran, dan bentuk tertentu. Sebagian kalangan berpandangan bahwa ukuran kesalehan perempuan pertama kali dilihat dari pakaiannya; semakin lebar, panjang, dan tertutup pakaian yang digunakan untuk menutup tubuhnya menandakan bahwa si pemakai adalah muslimah sejati dan paripurna/kaffah keimanannya.

Pandangan ini muncul karena anggapan bahwa seluruh tubuh perempuan itu indah dan mengundang fitnah, meskipun sebenarnya hal tersebut dapat dipengaruhi oleh cara pandang terhadap perempuan, bahwa perempuan itu adalah makhluk penggoda. Muslimah yang hendak “hijrah” dianggap tidak cukup memakai hijab yang segi empat dan ukuran sedang atau biasa digunakan sehari-hari.

Dalil Kewajiban Menutup Aurat

Kewajiban menutup aurat didasarkan pada Q.s. an-Nur [24] : 30-31 dan Q.s. al-Ahzab [33] : 59. Q.s. an-Nur [24] : 30- 31 merupakan ayat yang berkaitan dengan mahram. Adapun Q.s. al-Ahzab [33] : 59 adalah ayat berkaitan dengan pemakaian busana muslimah.

Ditilik dari asbabun nuzul, turunnya Q.s. an-Nur [24] : 30 diawali oleh adanya riwayat dari Ali bin Abi Thalib yang mengatakan bahwa pada masa Rasulullah saw., ada seorang laki-laki yang berjalan di Madinah, kemudian ia melihat seorang perempuan, dan perempuan itupun melihatnya. Lalu setan pun menggoda keduanya sehingga keduanya saling pandang karena terpikat. Maka ketika laki-laki tersebut mendekati suatu tembok untuk melihat perempuan tersebut, hidungnya tersentuh tembok hingga luka. Lalu ia bersumpah, “demi Allah saya tidak akan membasuh darah ini hingga bertemu Rasulullah saw. dan memberi tahu kepadanya tentang masalahku”. Laki-laki itu kemudian datang kepada Rasulullah dan menceritakan peristiwa yang ia alami. Kemudian bersabdalah beliau saw: “Itu adalah balasan dosamu”, lalu turunlah Q.s. anNur [24] : 30. Riwayat ini ditakhrijkan oleh Ibnu Mirdawaih.

Baca Juga :  Perbedaan Itu Indah: Mengapa dipersoalkan

Adapun asbabun nuzul, Q.s. an-Nur [24] : 31 ialah sebagai berikut: ketika Asma’ binti Marsad berada di kebun kurmanya, ia didatangi oleh beberapa perempuan dengan tidak memakai izar (kain), sehingga tampaklah gelang kaki dan dada mereka. Maka berkatalah Asma’ binti Marsad, “Itu tidak baik.” Kemudian Allah swt. menurunkan Q.s. an-Nur [24] : 31. Riwayat ini di-takhrijkan oleh Ibnu Katsir dari Muqatil ibnu Hibban dari Jabir ibnu Abdillah al-Ansariy yang mendengar Jabir ibnu Abdillah al-Ansariy menceritakan riwayat tersebut. Adapun sabab diturunkannya Q.s. al-Ahzab [33] : 59 yaitu ketika istri Rasulullah saw. dan para perempuan muslimah keluar malam untuk suatu keperluan, mereka sering diganggu oleh para laki-laki yang duduk di pinggir jalan. Peristiwa tersebut kemudian dilaporkan kepada Rasulullah saw.

  • Bagikan