Oleh: Drs. Mohammad S. Gawi, SH., MH
OPINI, DELIKNTT.COM – Demokrasi meniscayakan pelibatan sebanyak mungkin rakyat dalam proses politik, termasuk proses pemilihan Presiden/Kepala Daerah dan anggota badan-badan legislatif (DPR, DPD, DPRD).
Tak lama lagi kita songsong agenda besar bernama Pemilukada Langsung-Serempak. Dalam waktu tak lebih dari tiga bulan, sejumlah kota dan daerah akan melaksanakan Pemilukada langsung. Artinya, lembaga penyelenggara pemilu, pemerintah dan rakyat di daerah akan kembali sibuk menunaikan amanat konstitusi dengan banyak taruhan.
Harapan kita adalah agar agenda politik ini tidak hanya rutinitas kewajiban konstitusi. Kita wajib memberi bobot makna kepadanya, baik dalam soal kualitas pemilu, keamanan dan pemahaman rakyat bahwa itu semua terjadi oleh dan karena mandatnya. Singkatnya, apa yang menjadi catatan kelam pada masa lalu, harus kita kembalikan marwahnya: Marwah Pemilu.
Bila di-flashback ke belakang, sistem pemilihan kepala daerah sejak Indonesia merdeka, mengalami perubahan beberapa kali. Di era Orde Lama, pemerintah pusat menetapkan salah satu dari beberapa nama yang diajukan DPRD setempat, kemudian berubah menjadi diangkat oleh pemerintah pusat berdasarkan pemilihan DPRD yang dikontrol (Orde Baru), selanjutnya pemilihan hanya oleh DPRD tanpa kontrol pemerintah pusat sampai akhirnya diberlakukan pemilihan langsung (orde reformasi).
Selanjutnya, thn 2005, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, pemilihan kepala daerah mengalami penyempurnaan dengan memasukkan pesta demokrasi daerah tersebut ke dalam rezim pemilu sehingga namanya berubah menjadi pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada).
Inilah tonggak sejarah baru yang menandai semakin tingginya kualitas demokrasi, terutama pada indikator pelibatan rakyat secara langsung, yang pengaturan dan pengawasannya dilakukan secara nasional oleh lembaga independen (KPU dan Bawaslu).
Meski indikator pelibatan rakyat mengalami peningkatan, namun potensi gangguan keamanan jauh lebih tinggi dibanding dengan pemilihan kepala daerah hanya melalui DPRD. Berdasarkan pengalaman selama era Pemilukada langsung, konflik horisontal baik laten maupun manifes, terjadi dalam skala yang berbeda-beda. Masalah-masalah sosial dimaksud seperti terputusnya rantai sosial karena pilihan politik berbeda, tergerusnya nilai-nilai kekerabatan dan terpupuknya rasa dendam di lapis akar rumput.
Ini adalah beban sosial yang kembali di pikul negara dan bangsa, yang diakibatkan oleh Pemilukada langaung sebagai upaya mewujudkan demokrasi elektoral yang adil dan berkualitas.
Dilema ini, tidak harus membawa kita kembali ke era pemilihan DPRD karena itu malah mengembalikan masalah lama yang sudah saatnya kita jauhi. Cara terbaik keluar dari dilema ini adalah dengan terus berupaya mengeliminasi potensi konflik yang turut menyertai Pemilukada langsung.
Negara harus mampu meyakinkan publik bahwa Pemilukada adalah pesta (pesta demokrasi), bukan kompetisi menang-menangan yang melahirkan kekerasan dan konflik berkelanjutan. Sebagai pesta, maka Pemilukada mesti terselenggara dalam nuansa meriah dan semua yang ikut dalam kemeriahan itu mesti memahaminya sebagai agenda bersama.
Tetap Terhubung Dengan Kami:
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.