Oleh: Jailani Tong (Aktivis Muhammadiyah NTT/NBM: 1148368)
OPINI, DELIKNTT.COM – Dalam dinamika kehidupan sosial dan politik, sering kali kita diperhadapkan pada dua motif besar yang mempengaruhi tindakan dan keputusan seseorang, yaitu hasrat untuk berkuasa atau niat untuk mengabdi. Dua motif ini, selain saling berkaitan dalam berbagai konteks dan di sisi lain juga memiliki esensi dan tujuan yang sangat berbeda. Perbedaan di antara keduanya sangat tipis hingga tidak mampu untuk membedakannya.
Hasrat berkuasa adalah naluri dasar bagi setiap insan manusia dan muncul dalam berbagai bentuk. Dalam sejarah peradaban manusia, banyak pemimpin, baik di tingkat komunitas kecil hingga negara besar, terdorong oleh keinginan untuk mengendalikan sumber daya, mengatur kehidupan orang lain, atau bahkan menciptakan pengaruh besar dalam skala global. Ambisi untuk memegang kendali (super power) sering kali dianggap sebagai sesuatu yang alami dan tidak sepenuhnya negatif. Bagaimanapun juga, kemampuan untuk berkuasa dapat menjadi alat untuk menciptakan perubahan besar dalam masyarakat.
Namun, hasrat berkuasa yang tidak dibarengi dengan niat mengabdi atau tanggung jawab sering kali berujung pada kesewenang-wenangan dalam mengambil suatu kebijakan. Sehingga al-Ghazali menekankan pentingnya pengendalian terhadap hasrat, karena menurutnya hasrat pada dasarnya adalah buruk.
Banyak kasus dalam sejarah yang telah menunjukkan bagaimana penguasa yang haus kekuasaan terjebak dalam perilaku otoriter dan korupsi. Kekuasaan yang tanpa pengawasan atau kontrol dari nilai-nilai moral yang kuat cenderung menghancurkan tatanan masyarakat yang adil dan seimbang.
Ketika seseorang mendambakan kekuasaan semata, kepentingan pribadi menjadi prioritas utama. Dalam situasi ini, pengambilan keputusan sering kali berpusat pada bagaimana cara mempertahankan atau memperluas kekuasaan, bukan pada bagaimana melayani kepentingan umum. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada level politik, tetapi juga dalam lingkungan organisasi, tempat kerja, bahkan di lingkungan sosial terkecil.
Sejarah telah banyak bercerita, bagaimana kisah Firaun yang haus akan kekuasaan ingin berkuasa seorang diri dan merasa diri paling kuat, di akhir perjalanan kisah hidupnya, ia meninggal dalam keadaan yang sangat hina, bahkan, disebutkan bahwa keberadaan jasadnya saat ini dimaksudkan untuk menjadi sebuah refleksi bagi para generasi selanjutnya untuk melakukan sebuah refleksi panjang. Bahwa hasrat berkuasa akan berakhir dengan kehinaan.
Pun bukan hanya Firaun saja, kisah-kisah serupa bisa kita saksikan di sekitar kita, bahwa banyak pemimpin yang ketika kehilangan kekuasaannya, ia menjadi tidak terhormat di mata banyak orang, bahkan di mata para bawahannya. Itu karena kekuasaan yang selama ini diemban, bukan untuk sebuah pengabdian melainkan keinginan untuk berkuasa semata.
Di sisi lain, mengabdi adalah tindakan yang berakar pada niat untuk melayani dan memberikan yang terbaik bagi orang lain. Mengabdi adalah bentuk dari dedikasi dan pengorbanan untuk kepentingan bersama, yang sering kali melibatkan ketulusan dan komitmen untuk memperbaiki kehidupan orang lain. Dalam konteks ini, seorang pemimpin atau individu tidak melihat kekuasaan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan kebaikan yang lebih besar bagi semua golongan.
Tetap Terhubung Dengan Kami:
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.