iklan

Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

iklan
Topik : 

Gerakan Muhammadiyah: Latar Belakang dan Identitas, Bagian Keempat

Reporter : Jailani Tong Editor: Redaksi
Gambar Cover 12
Gambar: KH. Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah

DelikNTT.Com – Melalui interaksinya Gerakan Muhammadiyah dengan pemikiran pembaharu, Dahlan semakin yakin bahwa ada sesuatu yang salah dalam praktek keagamaan umat Islam yang dihadapinya.

Beberapa adat kebiasaan dan kepercayaan masyarakat yang dihadapi Dahlan, baik tradisionalisme Islam maupun Jawaisme (sinkretisme Islam-Hindu-Jawa), dinilai Dahlan telah jauh dari Islam yang murni. Hal ini dapat diamati dari kebiasaan dan kepercayaan dua kelompok masyarakat tersebut.

Masyarakat Islam tradisional biasa meminta restu pada makam-makam keramat, sihir, memelihara jin dan menggunakan berbagai bentuk jimat. Demikian pula dengan masyarakat Jawa waktu itu yang biasa memberikan sesaji pada mbaureksa tempat keramat, kepercayaan pada lelembut penjaga tempat-tempat tertentu, berbagai macam primbon, laku tapa (ngrowot, mutih, mendhem, dan lain-lain), ajian, petung (hari baik-buruk), jampi-jampi, dan perdukunan.

26 Hal-hal inilah dan yang semacamnya yang dikenal dalam Muhammadiyah sebagai penyakit TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat). Situasi- situasi keagamaan umat Islam ini telah memantapkan Dahlan akan keyakinannya bahwa ideologi pembaharu merupakan alternatif yang pas untuk mengatasi benang kusut keadaan umat Islam tersebut.

Dengan keyakinannya di atas, Dahlan pada tahun 1906, yang berarti hanya sekitar setahun setelah kepulangannya dari haji kedua, pernah mengeluarkan fatwa yang cukup mengejutkan bagi umat Islam pada masanya. Fatwa tersebut adalah bahwa “ziarah kubur kufur, ziarah kubur musyrik, dan ziarah kubur haram.”

Fatwa ini mengejutkan, karena ziarah kubur telah menjadi tradisi yang mengakar di kalangan umat Islam, dan dalam struktur ajaran Islam ziarah kubur termasuk amalan sunnah.

Tak pelak lagi, tuduhan-tuduhan miring diarahkan kepada Dahlan, seperti sebagai seorang mu’tazilah, inkâr al-sunnah, Wahabi, dan lain-lain.

Padahal, sasaran kritik dari fatwanya tersebut sebenarnya bukan ajaran ziarah itu sendiri, melainkan praktek ziarah kubur dalam masyarakat di sekitarnya yang dinilai Dahlan telah terkotori oleh unsur-unsur non-Islam yang berbau syirik.

Baca Juga :  Fukuzawa Yukichi dan Ahmad Dahlan: Reformis Pendidikan
  • Bagikan