Topik : 

Gerakan Muhammadiyah: Latar Belakang dan Identitas. Bagian Kedua

Reporter : Jailani Tong Editor: Redaksi
Gambar Cover 12
Gambar: KH. Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah

DelikNTT.Com – Sebagaimana anak-anak pada zamannya, Dahlan kecil dididik dengan pola pendidikan tradisional. Dalam pola pendidikan tradisional, para santri berlaku sebagai scholary broker (pialang keilmuan), berpindah dari satu kyal atau pesantren ke kyai atau pesantren lainnya dalam rangka memperluas dan memperdalam ilmu-ilmu yang ditekuninya (akar gerakan Muhammadiyah , Damami, 58). Sebab, sejak dahulu pesantren mungkin terkenal dalam bidang ilmu agama tertentu, sedang pesantren yang lain lebih populer dalam bidang ilmu agama yang lain.

Demikianlah dengan Dahlan, setelah belajar Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama kepada ayahnya sendiri, beliau belajar figh kepada KH Muhammad Shaleh, Nahwu kepada K.H. Muhsin, ilmu falak kepada K. Raden Haji Dahlan, hadits kepada K Mahfudh dan Syekh Khayyat, ilmu qira’ah kepada Syekh Amin dan Bakri Satock, ilmu racun binatang kepada Syekh Hasan. Di samping itu, beliau juga berguru kepada K.H. Abdul Hamid (dari Lempuyangan), K.H. Muhammad Nur, R. Ng. Sosrogondo, R. Wedana Dwijosewono dan Syekh M. Jamil Jambek dari Bukittinggi, (akar gerakan Muhammadiyah, Damami, hlm 81-82).

Sebenarnya, pada masa Dahlan kecil sudah terdapat lembaga pendidikan modern yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Tetapi umat Islam umumnya, terutama dari kalangan santri tidak tertarik untuk memasuki sekolah pemerintah tersebut. Ada pendapat umum bahwa barang siapa yang memasuki sekolah pemerintah dianggap kafir atau Kristen. Hal inilah yang menyebabkan umat Islam banyak yang tidak mau menyekolahkan anaknya ke lembaga pendidikan pemerintah termasuk ayah Dahlan. Terjadilah kesenjangan antara kaum intelegensia (lulusan pendidikan modern) muslim dengan kaum santri. Bahkan akibat lebih lanjut dari sikap kaum santri ini, semakin jauhnya kaum intelegensia dengan Islam.

  • Bagikan