iklan

Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

iklan
Topik : 

Bukit Lede Ketita di Raijua, Tempat Tinggal Majapahit

Reporter : Jailani Editor: Redaksi
FB IMG 1724741480927

Oleh: Sonny Pellokila

OPINI, DELIKNTT.COM – Raijua adalah nama sebuah pulau yang terletak di sebelah barat pulau Sabu. Raijua terdiri dari dua (2) suku kata, yaitu : “Rai” yang berartI “Tanah atau Negeri”, sedangkan “Jua” adalah “Nama Pribadi” (Bieger 1889:150). Dalam dokumen-dokumen VOC (Perusahaan Dagang Hindia Belanda) dan pemerintah Hindia Belanda, “Raijua” sering ditulis dalam bahasa Melayu kuno dengan “Randjoewa atau Randjoea atau Raidjoea”.

Raijua merupakan pulau batu kapur berbatu yang bahkan lebih rendah dibandingkan pulau Sabu di dekatnya. Ketika Salomon Müller berlayar melewati ‘Randjoea’ (Raijua) pada bulan November 1829, dia pertama kali mencatat bahwa ketinggian pulau Raijua lebih rendah dari pulau Sabu (Müller 1857, II:277). Tiga perempat daratannya berada pada ketinggian kurang dari 100 m di atas permukaan laut, bukit tertinggi adalah Lede Wadudagi (170 m) di tengah pulau dan Lede Ketita (142 m) di barat daya.

Menurut Kagiya, sebagian besar cerita legenda di Raijua, Madja-pahit (Modjo-pahit) adalah adik dari Beni Kedo (Kagiya 2010:78), namun ada versi cerita legenda lebih tua yang dicatat oleh F.H. van de Wetering bahwa Madja-pahit adalah dewa laut. Madja-pahit datang dari laut dan membawa sejumlah air tawar. Dia berjalan mengelilingi pulau Sabu dengan membawa air tersebut. Madja-pahit yang biasa disingkat Madja (Maja) membagikan air ke seluruh penjuru pulau Sabu, sehingga ketika akhirnya tiba di Mesara (Mehara) dia hampir tidak punya air yang tersisa. Itulah sebabnya Mesara dikenal sebagai “tanah kering”. Akhirnya Madja-pahit memilih pulau Raijua sebagai tempat tinggalnya (de Wetering 1926:486).

Di Raijua, Madja menikah dengan seorang perempuan bernama Beni Kèdo dan tinggal di bukit Ketita. Sebelum Madja-pahit tiba di Raijua, pulau itu diperintah oleh Mone Weo. Madja (Maja) bertarung dengan Mone Weo dan memaksanya meninggalkan pulau (Kagiya 2010:78). Dari perkawinan antara Madja-pahit dengan Beni Kedo, lahirlah keturunan-keturunan Madja. Itulah sebabnya penduduk Raijua disebut “Niki Madja” atau Pejuang Maja (de Wetering 1926:486).

Baca Juga :  dr. Octavianus L. Fanggidae, Pemuda dari Babau Asal Rote yang Menetap di Belanda

Menurut cerita legenda lainnya, ada seorang sosok perempuan yang bernama Marega (Mare Gah) yang hidup pada era Beni Kedo namun tidak diketahui tempat tinggalnya di Raijua. Marega adalah putri dari dewa laut yang bernama Ama Lado Gah. Kedua perempuan ini, dianggap memiliki pengaruh besar untuk mewariskan keterampilan teknis mewarnai dan menenun kepada keturunannya terhadap kelompok peremuan Hubi Ae dan Hubi Iki (Kagiya 2010:37).

Pada zaman dulu, antara kepercayaan Jingi Tiu dengan adat dan budaya di Raijua telah menyatu sehingga tradisi adat dan budaya sejalan dengan Jingi Tiu. Penganut kepercayaan Jingi Tiu setempat menganggap bukit Ketita sebagai tempat paling suci (sakral) di pulau itu. Bukit Ketita dipercaya oleh penduduk setempat sebagai tempat tinggal Madja-pahit (Kagiya 2010:78). Dalam kurun waktu tertentu, di bukit ini sering diadakan ritual-ritual oleh penduduk setempat untuk mempersembahkan babi merah dan babi hitam kepada Madja-pahit (de Wetering 1926:486). Beberapa fitur di Raijua masih dikaitkan dengan eksistensi Madja-pahit, seperti bekas telapak kaki Maja, sumur Maja, sawah Maja, rumah Maja, dll.

Disclaimer:
Artikel Ini Merupakan Kerja Sama DelikNTT.Com Dengan Sonny Pellokila. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi artikel menjadi tanggung jawab Sonny Pellokila.
  • Bagikan