Oleh: Sonny Pellokila
OPINI, DELIKNTT.COM – Delapan bulan setelah bebas dari penjara Sukamiskin, Soekarno kembali ditangkap di Bandung. Berawal dari pertemuan politik di rumah Muhammad Husni Thamrin pada 1 Agustus 1933. Ketika keluar dari rumah tersebut, Bung Karno ditangkap seorang komisaris polisi dan kemudian dipenjara tanpa proses pengadilan. Pada 28 Desember 1933, gubernur jenderal pemerintah Hindia Belanda, De Jonge menerbitkan sebuah surat perintah pengasingan Soekarno ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Soekarno kemudian dibawa ke Surabaya. Belanda juga membawa istri Soekarno, Inggit serta Katika dan Ratna Juami, anak angkat mereka. Masuk dalam rombongan, Ibu Amsi yang tak lain mertua Soekarno. Soekarno harus mejalani pembuangan. Tiga hari sebelum diberangkat ke pelabuhan, Soekarno bertemu ayah dan ibunya. Mereka diberi waktu kesempatan selama 3 menit untuk berpamitan. Di pelabuhan, kepergian Soekarno dan keluarganya dilepas oleh orang-orang yang berjejal-jejal berbaris dengan melambaikan bendera merah putih yang dibuat sendiri.
Delapan hari perjalanan di atas kapal barang KM van Riebeeck, Soekarno dan istrinya Inggit Garnasih beserta kedua anak angkatnya, yaitu Kartika dan Ratna Juami tiba di Ende dari Surabaya pada tanggal 14 Januari 1934. Oleh gubernur jenderal, Soekarno ditempatkan di Ende, sebuah kampung nelayan yang memiliki 5.000 penduduk. Tepatnya di Kampung Ambugaga, saat ini dikenal dengan kelurahan Kotaraja. Penduduk kampung itu bekerja sebagai nelayan, petani kelapa dan petani biasa. Soekarno kemudian tinggal di rumah milik Haji Abdullah Amburawu.
Di pembuangan itu, Soekarno membawa keranjang buku yang menjadi satu-satunya harta pribadi yang dibawa. Bagi seorang terpelajar seperti Soekarno, Ende adalah gurun intelektual. Soekarno berjuang untuk menemukan teman lokal untuk diajak bicara, mengeluh bahwa kebanyakan penduduk setempat adalah kaum konservatif garis keras yang kurang pengetahuan. Di Ende, Soekarno tak memiliki kawan. Ia juga kehilangan ibu mertuanya yang ikut dalam pembuangan. Ibu Amsi meninggal pada 12 Oktober 1935 setelah lima hari tak sadarkan diri. Seorang diri, Soekarno membangun kuburannya dan meletakkan batu bata untuk dasarnya. Ia juga menggosok batu kali untuk nisannya.
Tetap Terhubung Dengan Kami:
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.