Pada zaman dulu, salah satu gejala atau indikasi alami, keberhasilan kelahiran seorang bayi ditandai dengan jumlah air ketuban yang pecah dari kantung ketuban. Semakin banyak jumlah air ketuban yang pecah menandakan semakin lebar vagina yang terbuka sehingga peluang keselamatan seorang bayi yang lahir cukup besar. Namun sebaliknya, jika jumlah air ketuban yang pecah dari kantung ketuban sangat sedikit, maka vagina pun tidak terbuka lebar sehingga peluang kematian seorang bayi pada saat melahirkan cukup besar. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab prosentase angka kematian bayi cukup besar pada zaman dulu. Nama Kolhua sebenarnya adalah sebuah bentuk penghargaan bagi “ibu-ibu hamil yang akan melahirkan”.
Pada tahun 1653, raja Kupang memutuskan untuk memindahkan komunitasnya ke Pulau Semau (Boenlain Limlain) karena tekanan dari Portugis Hitam atau Topas (J.A van der Chijs 1888:153; Hagerdaal 2012:109;95). Dalam buku berjudul “Lords of the land, Lords of the sea. Conflict and adaptation in early colonial Timor, 1600-1800” karya Hans Hagerdaal (terbitan 2012), raja Kupang yang memindahkan komunitasnya (Helong) ke Pulau Semau dikenal dengan nama Ama Pono II (Hagerdaal 2012:95). Menurut Adolf Bastian dalam bukunya berjudul “Indonesien Oder Die Inseln Des Malayischen Archipel” (terbitan 1884), Raja Kupang yang memindahkan komunitasnya ke Pulau Semau adalah Bissi Nissi II putra dari Bissi Nissi I (Bastian 1884:10). Selanjutnya H.G. Schulte Nordholt dalam bukunya yang berjudul “The Political System of the Atoni” (terbitan 1971) mengatakan bawa pada tahun 1653 sebagian penduduk Kupang pindah ke pulau Semau di bawah pimpinan Ama Pono dan Ama Besi (Nordholt 1971:322).
Kemudian pada tahun 1664, mereka kembali ke Kupang ketika terjadi “wabah penyakit dan kematian yang meluas”, khususnya di pulau Semau. Penyakit ini bermanifestasi dengan sendirinya, semacam wabah sakit di tenggorokan: “meski masih sehat di malam hari, mereka bisa mati keesokan harinya” (Nordholt 1971:322). Model dan indikasi (gejala) penyakit tersebut, hampir mirip dengan Covid 19 yang kita kenal saat ini.
Hanya sebagian komunitas suku Helong yang kembali ke Kupang dan sebagiannya tetap menetap di pulau Semau. Mereka yang kembali ke Kupang menempati wilayah yang cukup jauh dari pusat kota sebagai tempat tinggal awal mereka. Perjalanan ini dipimpin oleh beberapa kepala keluarga, antara lain Lai Lopo, Bilis Tolen, Bimusu, Bui Gena, dll. Dalam perjalanan mencari tempat tinggal baru, terdapat beberapa perempuan/ibu hamil yang pada saat itu, air ketubannya pecah sebagai tanda awal proses kelahiran.
Kata Kolhua berasal dari bahasa Helong yakni dari kata “Ko” (Kolong) yang artinya “Buka” dan “Hua” yang artinya “Melahirkan” jadi Kolhua artinya “Buka Untuk Melahirkan”. Secara etimologi “Buka Untuk Melahirkan” artinya vagina harus terbuka lebar untuk melahirkan seorang bayi yang ditandai dengan pecahnya air ketuban yang cukup banyak bagi “Perempuan/Ibu” hamil yang akan melahirkan.
Tetap Terhubung Dengan Kami:
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.