Oleh: Sonny Pellokila
Secara linguistik, dialek Rote dipandang dari aspek histori, geografi dan sosial ternyata sangat beragam mengacu pada perbedaan-perbedaan kosakata, tata bahasa dan pengucapannya. Orang Rote biasanya mengatakan bahwa setiap wilayah memiliki bahasanya sendiri, namun maksudnya adalah setiap nusak mempunyai dialeknya sendiri. Meskipun terdapat banyak perbedaan antara dialek di wilayah timur dan dialek di wilayah barat, namun semua dialek dapat dimengerti satu sama lain (Orang Rote di wilayah timur dan tengah sering mengeluh bahwa hanya dialek Oenale di barat daya yang sangat sulit untuk dipahami). Dialek tidak harus mengambil seluruh bentuk ujaran dari bahasa induk (bahasa Lamak anan dan Henda anan). Hal-hal yang menjadi pembeda dari dialek adalah perbedaan fonologis, perbedaan semantik, perbedaan onomasiologis, perbedaan semasiologis dan perbedaan morfologis (Fox 1968:17-19).
Variasi dialek adalah salah satu aspek budaya Rote yang paling menarik. Dialek ini, merupakan dialek historis yang merujuk secara khusus kepada bentuk bahasa (bahasa Lamak anan dan Henda anan) yang diperbedakan menurut pemakaiannya pada zaman dulu. Beberapa ciri fonetik yang lebih menonjol yang membedakan dialek adalah penggunaan “r” sebagai pengganti “l” atau sebaliknya, penggunaan “mb” atau “mp” dan penggunaan “ngg” untuk “k”. Namun perbedaan fonetik hanyalah sebagian dari masalahnya. Perbedaan terdapat pada leksikon, sintaksis, dan penggunaan konsonan akhir untuk kata benda (Jonker 1906).
Pemeriksaan glotal dalam bahasa Rote disebabkan oleh penghilangan atau metatesis
konsonan tengah. Kesulitan dalam bahasa Rote adalah bahwa metatesis konsonan tengah, khususnya “k” tengah, bersifat variabel dialektis. Jadi, misalnya, kata “toak”, yang berarti “balok atap”, muncul dalam bentuk “toak” (dialek Pa’da), “toa” (dialek Korbaffo), dan “toka” (dialek Ringgou). Signifikansi konsonan akhir, khususnya “k” yang dimetatesis, merupakan masalah kompleks yang hanya dijelaskan sebagian oleh J.C.G Jonker (Jonker 1906). Singkatnya, sebagian besar kata benda bahasa Rote secara abstrak (dalam dialek Pa’da) diakhiri dengan “k” akhir atau dimodifikasi dengan kata sifat atau majemuk yang harus diakhiri dengan “k”. Jadi “k” atau “ka” secara kasar setara dengan kata sandang tertentu atau tidak tentu.
D.P Manafe dan J.C.G Jonker membedakan sembilan (9) dialek di pulau Rote. Dialek-dialek tersebut antara lain :(1) Dialek
Ringgou, digunakan di Ringgou, Qepao, dan Landu; (2) Dialek
Bilba, digunakan di Bilba, Diu, dan Lelenuk; (3) Dialek
Korbaffo, hanya digunakan di Korbaffo; (4) Dialek
Bokai, hanya digunakan di Bokai; (5) Dialek
Pa’da, digunakan di Termanu, Keka dan Talae; (6) Dialek
Ba’a, digunakan di Ba’a dan Lole; (7) Dialek
Thie, hanya digunakan di Thle; (8) Dialek
Oenale, digunakan di Oenale dan Delha; (9) Dialek
Dengka, digunakan di Dengka dan Lelain (Manafe 1889; Jonker 1908, 1913).
Disclaimer:
Artikel Ini Merupakan Kerja Sama DelikNTT.Com Dengan Sonny Pellokila. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi artikel menjadi tanggung jawab Sonny Pellokila. Follow WhatsApp Channel DelikNTT.Com untuk Berita Terbaru Setiap Hari
Follow