Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Tolak Relokasi dan Pembangunan di Pulau Kera, Masyarakat Adat Siap Sumpah Bawah Laut

Reporter : Jailani Editor: Redaksi

DELIKNTT.COM – Komunitas masyarakat adat Pulau Kera, Nusa Tenggara Timur, dengan tegas menolak rencana relokasi dan pembangunan proyek wisata oleh PT Pitoby Grup. Dalam konferensi pers yang digelar di Resto Celebes Kupang pada Senin (5/5/25), kepada sejumlah awak media mereka menyuarakan kecaman keras atas pembangunan Villa, Resto, dan Bar di atas tanah adat yang dianggap sakral oleh warga setempat.

Perwakilan masyarakat yang hadir antara lain Abdullah Sapar-Dethan, Arsyad Abdul Latif, Muhamad Syukur, dan Hamdan Saba. Mereka menyatakan bahwa Pulau Kera memiliki nilai historis dan spiritual yang mendalam bagi masyarakat adat Bajo, karena pertama kali dihuni oleh leluhur mereka, almarhum Jumila, sejak tahun 1884.

Scroll kebawah untuk lihat konten
Ingin Punya Website? Klik Disini!!!

Menurut Hamdan Saba, pembangunan oleh PT Pitoby dilakukan tanpa persetujuan dan dialog dengan masyarakat adat Pulau Kera dan dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap keberadaan mereka sebagai pewaris sah tanah tersebut.

“Kami dengan tegas menyatakan penolakan pembangunan ini. Kami sampaikan bawah tanah ini adalah warisan leluhur kami, dan tidak bisa seenaknya dialihfungsikan,” tegasnya.

Hamdan juga menegaskan bahwa masyarakat adat siap menjalani sumpah adat dengan meminum air laut, sebagai bentuk pembuktian siapa yang pertama kali menghuni Pulau Kera.

“Jika ada pihak-pihak yang mengklaim dirinya lebih dulu tinggal di pulau ini, kami siap dan tantang untuk sumpah bawah laut,” tegasnya.

Masyarakat Pulau Kera juga mendesak agar pemerintah pusat dan daerah, termasuk Bupati Kupang dan Gubernur NTT, untuk segera menghentikan aktivitas PT Pitoby. Mereka menyebut pembangunan tersebut tidak manusiawi, terutama setelah adanya dugaan pembongkaran kuburan tua leluhur oleh pihak pengembang.

“Kami menduga ada praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam pemberian izin proyek ini. Kami juga minta agar Kepolisian dan Kejaksaan menyelidiki kasus dugaan pemalsuan surat-surat serta pembongkaran kuburan,” ungkapnya.

Selain itu, dalam konferensi pers yang dilakukan oleh komunitas adat itu menolak pembangunan fasilitas wisata mewah. Mereka meminta agar pemerintah fokus pada penyediaan kebutuhan dasar yang dapat membantu aktivitas meraka di Pulau Kera, seperti;

  • Air minum bersih
  • Listrik dan penerangan
  • Pendidikan yang layak
  • Sarana kesehatan seperti Pustu, Posyandu, dan Puskesmas
  • Dermaga untuk akses transportasi antar pulau

“Anak-anak kami butuh sekolah, bukan bar. Kami butuh listrik, bukan villa,” jelas Hamdan dihadapan awak media saat konferensi pers di Celeber Resto.

Perli diketahui, saat ini di Pulau Kera terdapat 88 Kepala Keluarga, sekitar 500 jiwa, dan satu unit Madrasah Ibtidaiyah Negeri dengan 121 siswa. Selain itu, terdapat Masjid dan Musholla yang aktif digunakan untuk beribadah.

Baca Juga :  PC IMM Kabupaten Ende Berhasil Advokasi Siswa SMA yang Terkendala Ekonomi

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp DelikNTT.COM

+ Gabung

  • Bagikan